Sebelum kita memperinci dalil bolehnya memperingati maulid dan berkumpul untuk memperingatinya maka perlu diperjelas tentang beberapa masalah:
1. Kita merayakan / memperingati maulid junjungan kita Nabi Muhammad SAW setiap saat, setiap waktu dan di setiap kesempatan yang mana di situ terdapat kegembiraan atau kegiatan, terlebih lagi pada bulan dilahirkannya beliau yaitu Robii’ul Awwal, dan di hari kelahiran beliau yaitu Senin. Sebenarnya tidaklah tepat bila seorang yang cerdas bertanya: “Mengapa kalian merayakan Maulid?” sebab hal itu seolah-olah ia berkata: “Mengapa kalian merasa bergembira dengan Nabi SAW?” seolah-olah ia berkata: “Kenapa kalian merasakan kegembiraan ini dan berbangga dengan seseorang yang diisro’kan dan dimi’rojkan?” Maka apakah mungkin pertanyaan seperti ini muncul dari seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan-Nya? Ini sebuah pertanyaan yang basi dan tidak memerlukan jawaban. Cukuplah orang yang ditanya mengatakan: “Saya merayakannya karena saya senang dan gembira dengan beliau SAW,saya bergembira karena saya cinta kepada beliau dan saya cinta kepada beliau karena saya mu’min.”
2. Yang kami maksdu dengan perayaan adalah perkumpulan untuk mendengarkan sejarah beliau dan bersholawat serta bersalam kepada beliau, serta mendengarkan puji-pujian yang dilantunkan tentang kemuliaan beliau, serta memberi makanan dan berbagi dengan orang-orang yang memerlukan serta meletakkan kegembiraan pada hati para pecinta.
3. Kita tidak mengatakan bahwa perayaan maulid tersebut pada malam tertentu dengan tatacara yang telah dikenal, termasuk perkara yang ada nash / tersebut secara tersurat dalam syari’at seperti halnya sholat, puasa, dan selainnya. Hanya saja tidak ada yang melarang hal itu. Sebab berkumpul untuk berdzikir / mengingat Allah, bersholawat dan salam kepada Rasululloh SAW dan yang semacamnya berupa hal-hal yang baik, adalah termasuk hal-hal yang harus diperhatikan terutama ketika bulan kelahiran beliau, sebab dorongannya lebih kuat
4. Perkumpulan tersebut adalah sarana yang besar untuk dakwah di jalan Allah dan kesempatan emas yang tidak seharusnya dilewatkan bahkan sudah seharusnya para da’i dan ulama mengingatkan ummat kepada Nabi mereka SAW, tentang akhlaq beliau, perilaku beliau, hubungan beliau kepada sesama, dan ibadah beliau.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan peringatan maulid di antaranya sebagai berikut:
1. Perayaan maulid Nabi adalah pernyataan dari kegembiraan terhadap beliau SAW dan bahkan orang kafir sekalipun dapat mengambil manfaat darinya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sahih Al-Bukhooriy bahwa setiap hari senin (hari kelahiran Rasululloh SAW) Abu Lahab mendapat keringanan siksa karena ia membebaskan hamba sahaya perempuannya yakni Tsuwaibah ketika ia mengabarkan kepadanya tentang kelahiran Rasululloh SAW. Ini orang yang ingkar terhadapa beliau, lantas bagaimana kegembiraan daris eorang yang beriman kepada beliau. Kisah tersebut diriayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhooriy dalam kitab sahihnya dalam bab Nikah, dan dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Asqolaaniy dalam Fatchul Baarii-nya, juga diriwayatkan oleh Abdur Rozzaaq Ash-Shon’aaniydalam Mushonnafnya jilid 7 halaman 478, juga Al-Hafizh Al-Bayhaqiy dalam Dalaa-ilun Nubuwwah-nya, Ibnu Katsir dalam Siroh Nabawiyyahnya dari kitab Al-Bidaayah wan Nihaayahnya jilid 1 halaman 224, Ibnud Dayba’ Asy-Syaibaaniy dalam Chadaa-iqul Anwaar jilid 1 halaman 134, Al-Hafizh Al-Baghowiy dalam Syarhus Sunnah-nya jilid 9 halaman 76, Ibn Hisyam dan As-Suhayliy dalam Rowdhul Unuf jilid 5 halaman 192, dan Al-‘Amiriy dalam Bahjatul Machaafil-nya jilid 1 halaman 41. Riwayat ini meskipun mursal tetap diterima karena diriwayatkan oleh Al-Bukhooriy dan dipegangi oleh para ulama dari kalangan penghafal hadits, dan karena ia dalam masalah manaqib dan khekhususan bukan dalam masalah halal dan haram. Sedangkan para penuntut ilmu mengetahui perbedaan antara berdalil dengan hadits dalam masalah manaqib dan halal-haram.
2. Beliau mengagungkan hari lahirnya, bersyukur kepada Allah akan ni’mat-Nya yang agung, yang mana diungkapkan rasa syukur itu dengan cara berpuasa sebagaimana dalam riwayat dari Qotadah: “Bahwasanya Rasululloh SAW ditanya tentang puasa beliau di hari Senin?” beliau bersabda: “Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepadaku (pertama kali).” [H.R Muslim, dalam bab Puasa]. Ini merupaka semangat yang mendasari peringatan / perayaan tersebut, adapun cara perayaannya bisa berbeda-beda. Seperti menjaga Al-Qur’an agar tidak lenyap adalah suatu kewajiban namun cara yang ditempuh dapat berbeda-beda: bisa dengan mengahafalkannya, menuliskannya, atau dizaman modern ini dengan merekamnya, dst.
3. Bergembira karena beliau SAW adalah sebuah tuntutan Agama, hala ini terambil dari firman Allah Yang Maha Luhur:
قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّــمَّا يَجْمَعُوْنَ (يونس: 58)
Artinya: katakanlah (Ya Rasululloh) hanya dengan karunia dari Allah dan rahmat-Nya, maka dengan itulah hendaknya mereka bergembira, itu lebih baik dari segala apa yang mereka kumpulkan. (Q.S Yunus: 58)
Ibnu Abbas – sebagaimana diriwayatkan oleh Abusy Syaikh – menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud dengan karunia Allah adalah ilmu, dan yang dimaksud dengan rahmat-Nya adalah Nabi Muhammad SAW, sebab Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعلَمِيْنَ (الأنبياء: 107)
Artinya: Dan tidaklah Kami mengutusmu (wahai Nabi) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.
4. Bahwasanya Nabi SAW memperhatikan keterikatan waktu-waktu tertentu dengan kejadian keagamaan yang agung yang telah berlalu. Sehingga ketika datang hari bersejarah itu maka itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan hari tersebut karenanya. Beliau SAW sendiri yang telah mengasaskan kaidah ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits sahih bahwasanya ketika beliau SAW tiba di Madinah dan beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa di hari Aasyuuroo` (tanggal 10 Muharram) beliau menanyakan tentang hal itu maka dijawablah oleh mereka bahwa mereka mempuasainya karena itu adalah hari dimana diselamatkannya nabi mereka, Nabi Musa AS, dan ditenggelamkannya musuh mereka, maka mereka mempuasainya sebagai tanda syukur kepada Allah atas nikmat itu, maka beliau bersabda: “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.” Lalu beliau pun mempuasainya dan memerintahkan muslimin untuk mempuasainya.
5. Peringatan Maulid membangkitkan atau mendorong muslimin untuk lebih memperbanyak sholawat dan salam kepada Nabi SAW yang mana itu adalah anjuran Agama sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّ اللهَ وَمَلئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (الأحزاب: 56)
Artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bersholawatlah kalian dan bersalamlah kepada beliau. (Q.S Al-Achzaab: 56). Sedangkan sesuatu yang menghantarkan kepada kebaikan maka sesuatu tersebut juga merupakan kebaikan.
6.
Kisah maulid Nabi SAW mencakup seputar kelahiran beliau SAW yang mulia, mu’jizat beliau, sejarah hidup beliau. Bukankah kita dituntut untuk mengikuti beliau serta mencintai beliau dan dengan itu berarti kita dituntut mengenal beliau sebab tak kenal maka tak sayang, kisah maulid tersebut menghantarkan kita kepada tujuan ini. Kalau pun kisah maulid tersebut berbahasa Arab, maka sudah menjadi adat setelah pembacaan maulid para ulama mengulas isi atau makna maulid tersebut dengan bahasa Indonesia bahkan dengan bahasa daerah masing-masing. Apalagi di zaman modern ini dengan banyak para ulama yang telah menterjemahkan kisah-kisah maulid tersebut ke dalam berbagai bahasa dan tersebur di berbagai media mulai dari cetak hingga elektronik.
7. Memuji beliau dan menebarkan keutamaan beliau melalui gubahan sastra yang dibaca dalam peringatan maulid merupakan salah satu bentuk usaha kita untuk menghormat jasa beliau. Yang mana dalam sejarah, telah termasyhur beberapa penyair yang menggubah syair untuk memuji beliau, seperti: Hassan bin Tsaabit, Abdulloh bin Rowaachah, Ka’ab bin Zuhair bin Abi Sulma, dan lain-lain. Yang mana beliau menanggapi dengan baik pujian-pujian tersebut, bahkan memberi mereka hadiah yang menunjukkan kesenangan beliau terhadap apa yang mereka lakukan. Bahkan dalam riwayat Ath-Thobroniy, Al-Bayhaqi, Al-Chaakim dan yang lainnya dengan sanad yang hasan – sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolaaniy – bahwa paman beliau Abbas menggubah beberapa bait sya’ir yang menceritakan keagungan kelahiran beliau:
قال الحافظ البيهقي حدثنا أبو عبد الله الحافظ إملاء أخبرنا أبو العباس محمد بن يعقوب حدثنا أبو البَخْتَرِي عبد الله بن شاكر حدثنا زكريا بن يحيى حدثنا عم أبي زخر بن حصن عن جده حُمَيْد بْن مُنْيَبٍ قال سمعت جدي خُرَيم بن أوس بن حارثة بن لَامٍ يقول هاجرت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم منصرفه من تبوك فسمعت العباس بن عبد المطلب يقول يا رسول الله إني أريد أن أمتدحك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم قل لا يفضض الله فاك فقال:
Artinya: Berkata Al-Hafizh Al-Bayhaqiy telah memberitakan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh secara dikte: telah mengabarkan kepada kami Abul ‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub: telah memberitakan kepada kami Abul Bakhtariy Abdulloh bin Syaakir: telah memberitakan kepada kami Zakariyya bin Yahya: telah mengabarkan kepada kami paman dari ayahku, Zakhr bin Chisn dari kakeknya yaitu Chumaid bin Mun-yab, ia berkata: “Saya mendengar kakekku, Khuraim bin Aus bin Chaaritsah bin Laam berkata: “Aku berhijrah kepada Rasululloh SAW ketika beliau pulang dari Tabuk, lalu aku mendengar Al-‘Abbaas bin ‘Abdil Muththolib berkata: “Ya Rasululloh, aku ingin memujimu.” Lalu beliau bersabda: “Ucapkanlah! Semoga Allah tidak merusakkan mulut (gigi)-mu” lalu ‘Abbas pun mengguba syair berikut ini:
مِنْ قَبْلِهَا طِبْتَ فِي الظِّلَالِ وَفِي * مُسْتَوْدَعٍ حَيْثُ يُخْصَفُ الْوَرَقُ
Sebelum ini (yakni sebelum ada manusia di dunia ini) engkau te;ah nyaman berada di naungan (surga) dan di * tempat perlindungan yang mana di sana diambil dedaunan sebagai penutup (oleh Adam dan Hawa ketika terbuka aurat keduanya)
ثُمَّ هَبَطْتَ الْبِلَادَ لَا بَشَرٌ * أَنْتَ وَلَا مُضْغَةٌ وَلَا عَلَقٌ
Kemudian engkau turun ke negeri ini bukan layaknya manusia (pada umumnya) * engkau bukan dari segumpal daging atau pun segumpal darah (yang biasa).
بَلْ نُطْفَةٌ تَرْكَبُ السَّفِيْنَ وَقَدْ * أَلْجَمَ نَسْرًا وَأَهْلَهُ الْغَرَقُ
Akan tetapi engkau berupa setetes mani yang menaiki bahtera (yakni kapal Nabi Nuh) sedangkan sungguh * ketika itu banjir / ketenggelaman telah mengancam Burung Nasr serta keluarganya.
تُنَقَّلُ مِنْ صَالِبٍ إِلَى رَحِمٍ * إِذَا مَضَى عَالَمٌ بَدَا طَبَقُ
Engkau dipindahkan dari tulang sulbi pilihan kepada rahim pilihan * bila berlalu satu amsa berganti dengan tingkatan / generasi baru (yang pilihan pula).
حَتَّى احْتَوَى بَيْتَكَ الْمُهَيْمِنَ مِنْ * خِنْدِفَ عَلْيَاءَ تَحْتَهَا النُّطُقُ
Sehingga engkau singgah di rumah / keluarga yang terjaga dari keturunan orang-orang mulia lagi luhur yang dibawahnya terdapat gunung-gunung (orang-orang mulia).
وَأَنْتَ لَمَّا وُلِدْتَ أَشْرَقَتِ اْلأَرْ * ضُ فَضَاءَتْ بِنُوْرِكَ الْأُفُقُ
Sedangkan engkau ketika dilahirkan maka bumi ini terang dan bercahayalah karena nurnya seluruh penjuru semesta.
فَنَحْنُ مِنْ ذَلِكَ النُّوْرِ فِي الضِّيَاءِ * وَسُبُلِ الرَّشَادِ نَخْتَرِقُ
Maka kami karena nur tersebut dan dalam cahaya itu serta jalan petunjuknya kami dapat berjalan (dengan selamat)